Megalit Besemah
Di Sumatera, bangunan megalitik terdapat di bagian selatan pulau tersebut, yang di dataran tinggi Tanah Besemah. Daerah ini terleak di antara Bukit Barisan dan Pegunungan Gumay, di lereng Gunung Dempo (3173 m). Peninggalan situs megalitik di daerah ini pernah dilaporkan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870, Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun 1927, yang hampir semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi tempat tersebut, ia berbeda pendapat dengan angggapan-anggapan terdahulu. Van Eerde menyatakan, bahwa peninggalan megalitik di Besemah tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah Besemah, ia menghasilkan publikasi lengkap tentang megalit di daerah tersebut. Publikasi ini sampai kini masaih sangat berharga bagi penelitian situs-situs megalit di Tanah Besemah. Van Heerkeren telah membuat ikhtisar tentang penemuan-penemuan megalitik di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, sedangkan Peacock mencoba membahas megalit Besemah ini dari sudut pandang sejarah dan fungsinya dalam usaha penelahan kehdupan sosial masa lampau.
Namun yang pasti, di Tanah Besemah, Sumatera Selatan, pernah ada budaya yang hidup dan berkembang dalam lintasan prasejarah.Hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan budaya megalitik yang tersebar, misalnya di dusun Tegurwangi (batu beghibu dan lain-lain), gunungmigang (batu rang, batu kitap dan lain-lain), Gunung kaye (batu bupean / kubus dan batu pidaran/dakon), simpang pelajaran (batu pidaran, dan lain-lain), situs Muarapayang (batu perahu, peti kubur batu dan lain-lain), Tanjung-aghe (batu jeme dililit ulagh, peti kubur batu dan lain-lain), Talangtinggi Gunung Dempo (peti kubur batu), Keban-agung (batu jelapang), Belumay (batu nik kuanci dan peti kubur batu), Tebingtinggi, Lubukbuntak (batu jeme) Nanding (batu gung), Geramat Mulak Ulu (batu bercoret), Semende (batu tapak puyang awak), Pagaralam-Pagargunung (batu ghuse, batu bekatak, dan lain-lain), Kuteghayewe (batu gajah, peti kubur batu, batu kursi dan lain-lain), Pulaupanggung, Impit Bukit (batu jeme ngilik anak) Pajarbulan, Tanjungsakti (batu tiang/menhir), Genungkerte, Tanjungsakti (batu kawah), Baturancing (batu kebau tanduk runcing) dan lain-lain.
Peninggalan megalitik yang terdapat di Besemah terutama berupa menhir, dolmen, peti kubur batu, lesung serta patung-patung batu yang bergaya statis dan dinamis (Kherti, 1953:30). Menhir adalah sebuah batu tegak, yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Benda tersebut dianggap sebagai medium penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi symbol dari orang-orang yang diperingati. Di Besemah ditemukan menhir berdiri tunggal atau berkelompok, membentuk formasi temugelang, persegi atau bujursangkar dan sering bersama-sama dengan bangunan lainnya, seperti dolmen, peti kubur batu atau lainnya. Di Karangdalam ditemukan menhir polos setinggi 1,6 meter, berdiri di atas undak batu. Di atas undak batu ini terdapat pula sebuah batu berlubang seperti batu lumping. Di dusun Tegurwangi, banyak ditemukan menhir polos dengan tinggi maksimal 1,5 meter di dekat dolmen, patung-patung dan peti kubur batu. Menhir yang lebih kecil setinggi 0,4 meter yang berdekatan dengan undak batu ditemukan di dusun Mingkik.
Menurut pengamatan van der Hoop, dolmen yang paling baik terdapat di Batucawang. Papan batunya berukuran 3 x 3 m dengan tebal 7 cm, terletak di atas 4 buah batu penunjang. Salah satu dolmen yang digalinya di Tegurwangi, diduga berisi tulang-tulang manusia, tetapi tulang dan benda-benda lain yang dianggap sebagai bekal kubur tidak ditemukan. Selain dolmen-dolmen, di daerah Besemah banyak ditemukan patung batu yang diduga merupakan patung manusia. Di antara dolmen-dolmen, terdapat juga dolmen yang papan batunya ditunjang oleh 6 buah batu tegak. Tradisi setempat menyatakan bahwa tempat ini merupakan pusat aktivitas upacara ritual pemujaan nenk moyang. Di daerah ini ditemukan juga dolmen bersama-sama menhir. Temuan-temuan lainnya terdapat di Pematang dan Pulaupanggung (Sekendal). Di dua tempat ini ditemukan palung batu. Daerah temuan lain adalah dusun Nanding, Tanjung-aghe, Pajarbulan (tempat ditemukannya dolmen dan menhir bersama dengan lesung batu, Gunungmigang, Tanjungsakti dan Pagardiwe (Kherti, 1953;30).
Kubur berundak adalah kuburan yang dibuat di atas sebuah bangunan berundak yang biasanya terdiri dari satu atau lebih undak-undak tanah, dengan tebing-tebing yang diperkuat dengan batu kali. Di dusun Mingkik ditemukan sebuah bangunan berundah dua, dengan tebing-tebing yang diperkuat dengan batu kali. Tinggi undak bawah 1,5 m dengan luas dataran berukuran 4 x 3,5 m. di dataran kedua didapatkan 2 buah batu tegak dengan sebuah batu kali berbentuk segi-empat. Di Karangdalam ditemukan bangunan batu berundak yang tiap datarannya dilapisi dengan papan batu dan banyak diantaranya belubang-lubang kecil. Di atas susunan batu berundak ini berdiri sebuah menhir setinggi 1,6 meter. Temuan di dusun Keban-agung yang mungkin berasal dari zaman yang lebih muda berupa sebuah kubur batu berundak dengan empat buah nisan yang diukir dengan pola daun (arabesk) dan pola burung. Nisan lainnya berbentuk manusia yang dipahat secar sederhana.
Peti kubur batu adalah kubur berupa sebuah peti yang dibentuk dari enam keping papan batu; terdiri dari dua sisi panjang, dua sisi lebar, sebuah lantai dan sebuah penutup peti. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung dalam lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Peti kubur batu sebagian besar membujur dengan arah timur-barat. Temuan peti kubur batu yang paling penting terdapat di dusun Tegurwangi, sebuah daerah yang memang kaya dengan situs megalit seperti dolmen, menhir dan patung-patung.
Selain van der Hoop, penelitian tentang peti kubur batu ini dilakukan juga oleh peneliti C.C. Batenberg dan C.W.p. de Bie. Van der hoop, sendiri telah meggali salah satu peti yang berada di Teguwangi, yang dianggap paling besar di antara-antara peti kubur batu lainnya. Ia berhasil menemukan benda-benda yang penting yang dianggap sebagai bukti peninggal dari pendukung tradisi peti kubur batu. Pemukaan atas tutup peti kubur batu berada 25cm dibawah permukaan tanah, dan tutup peti kubur batu ini terdiri dari beberapa papan batu. Sela – sela antara batu – batu penutup dan antara penutup dengan peti tersebut disi dengan batu – batu kecil. Diantara papan – papan penutup, yang paling besar berukuran panjang 2,5m. lantai peti yang agak melambai dengan arah timur barat, terdiri dari 3 papan batu. Sisa – sisa tidak terdapat dalam peti – peti yang penuh dengan tanah dan pasir itu. Lapisan tanah selebar 20 cm dari atas peti, berisi temuan – temuan, sseperti 4 butir manik – manik merah berbentuk selindik, sebuah manik berwarna hijau transparan berbentuk heksagonal tangkup, sebuah paku emas berkepala bulat dan ujung yang tumpul, sebuah manik berwarna kuning keabu – abuan dua buah mekanik berwarna biru serta sebuah fragment perunggu selain itu masih ditemukan manik – manik dalam berbagai bentuk sebanyak 63 buah. Didalam peti kubur batu yang lainnya yang pernah dibuat oleh Batenburg, ditemukan beberapa buah manik – manik berwarna kuning dan sebuah mata tombak dari besi yang telah sangat berkarat.
Didalam peti kubur batu yang ditemukan oleh de Bie, terdapat sebuah lempengan perunggu berbentuk segiempat yang mengembung di bagian tengah. Selanjutnya de Bie menemukan peti kubur batu rangkap di tanjung-aghe yang terdiri dari dua ruang sejajar berdampingan, dipisahkan oleh dindingyang di lukis dengan warna-warna hitam, putih, merah, kuning, dan kelabu.lukisan ini menggambarkan manusia dan binatang yang distilir. Antra lain tampak gambar tangan dengan tiga jari, kepala kerbau dengan tanduknya, dan mata kerbau yang di gambarkan dengan lambang-lambangnya, mempunyai hubungan dengan konsepsi pemujaan nenek-moyang.
Temuan-temuan megalitik yang paling menarik di Tanah Besemah adalah arca-arca batu yang dinyatakan oleh von Heine Geldern bergaya “dinamis”. Arca-arca ini juga menggambarkan bentuk-bentuk binatang, seperti gajah, harimau, dan moyet. Kelihatan bentuk-bentuk arca yang membulat. Dapat ditafsirkan bahwa pendukung budaya megalitik mekanik di sini memilih bahannya sesuai dengan bentuk arca yang akan dipahat; kemudian pemahatan arca itu disesuaikan lagi dengan bentuk asli batunya. Plastisitas seni arca yang menonjol menandakan keahlian si pemahat. Sebagian besar arca-arca tersebut mewujudkan seorang lelaki bertutup kepala berbentuk topi baju, bermata bulat yang menonjol dengan dahi yang menjorong, yang semuanya memperlihatkan ciri ras Negrito. Arca-arca ini selanjutnya memakai gelang tangan dan karung, sedangkan pedang pendek yang lurus dan runcing tergantung di pinggang. Bagian kaki, dari betis sampai pergelangan kaki, tertutup oleh lilitan pembalut kaki. Kadang-kadang dipundak tampak “ponco”, yaitu selembar kaki penutup punggung, seperti yang bias dipakai oleh orang Amerika Latin.
Arca-arca ini tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, seperti Karangindah, Tinggiari Gumai, Tanjungsirih, Padang Gumay, Pagaralam, Tebat sementur (Tanjung tebat), Tanjunng Menang-Tengahpadang, Tanjungtebat, Pematang, Ayik Dingin, Tanjungberingin, Geramat Mulak Ulu, tebingtinggi-Lubukbuntak, Nanding, Batugajah (Kutaghaye Lame), Pulaupanggung (Sekendal),Gunungmigang, Tegurwangi, Airpur. Penemuan yang paling menarik adalah megalitik yang dinamakan “Batugajah”, yakni sebongka batu berbentuk bulat telur, berukuran panjang 2,17 m dan dipahat pada seluruh permukaannya. Bentuk batunya yang asli hampir tidak diubah, sedangkan pemahatan objek yang dimaksud disesuaikan dengan bentuk batunya. Namun, plastisitas pahatannya tampak indah sekali. Batu dipahat dalam wujud seekor gajah yang sedang melahirkan seekor binatang antara gajah dan babi-rusa, sedangkan pada ke dua bela sisinya dipahatkan dua orang laki-laki. Laki-laki sisi kiri gajah berjongkok sambil memegang telinga gajah, kepalanya dipalingkan ke belakang dan bertopi. Perhiasan berbentuk kalung besar yang melingkar pada lehernya,begitu pula pada betis tampak tujuh gelanng. Pada ikat pinggang yang lebar tampak pedang berhulu panjang, sedangkan sebuah nekara tergantung pada bahunya. Pada sisi lain (sisi kakan gajah) dipahatkan seorang laki-laki juga, hanya tidak memakai pedang. Pada pergelangan tangan kanan, terdapat gelang yang tebal, pada betis tampak 10 gelang kaki.
Temuan batu gajah dapat membatu usaha penentuan umur secara relative dengan gambar nekara itu sebagai petunjuk yang kuat, selain petunjuk-petunjuk lain seperti pedang yang mirip dengan belati Dong Son (Kherti, 1953:30), serta benda-benda hasil penggalian yang berupa perunggu (Besemah, gangse) dan manik-manik. Dari petunjuk-petunjuki diatas, para ahli berkesimpulan bahwa budaya megalitik di Sumatera Selatan, Khususnya di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, berlangsung pada masa perundagian; pada masa ini teknik pembuatan benda logam mulai berkembang. Sebuah nekara juga dipahatkan pada arca dari Airpuar. Arca ini melukiskan dua orang prajurit yang berhadp-hadapan, seorang memegang tali yang diikatkan pada hidung kerbau, dan orang yang satunya memegang tanduknya. Kepala serigala (anjing), tampak di bawah nekara perunggu tersebut.
Selain temuan-temuan di atas terdapat pula benda-benda megalitik berupa batu palung dan batu lesung. Batu palung adalah jambangan batu yang berbentuk panjang dengan sudut-sudut membulat. Jambangan ini fungsinya dipergunakan untuk menyimpan tulang-tulang manusia, seperti yang dilakukan di Nias. Batu-batu palung antara lain terdapat di Pajarbulan (Impit Bukit ), Gunungmigang, Tebatgunung, dusun Pagaralam, dan Pulaupanggung (Sekendal). Di beberapa tempat batu-batu palung tersebut, dibentuk seperti tubuh manusia, bahkan didekat Tebat Beluhu, sebuah palung dipahatkan bersama-sama dengan arca manusia, seolah-olah manusia tersebut memeluk palung. Arca tersebut berbentuk seperti arca-arca yang umumnya terdapat di daerah Besemah.
Batu lesung adalah sebungkah batu yang diberi lubang sebuah atau klebih, dengan diameter lubang dan dalam rata-rata 15 cm.permukaan batu yang rata dibagi dalam empat ruang oleh bingkai-bingkai. Kadang-kadang tiap ruang berlubang. Penduduk setempatmengatakan bahwa batu-batu tersebut pada zaman dahulu digunakan untuk menumbuk padi-padian. Batu lesung seperti ini ditemukan pada tempat-tempat kompleks bangunan megalitik. Di Besrmah, batu tersebut dinamakan batu lesung atau lesung batu, ditemukan antara lain di Tanjungsirih, Geramat (Mulak Ulu), Tanjung-aghe, Tebingtinggi, Lubukbuntak, Gunungmigang, danPajarbulan Impit Bukit.di luar daerah Besemah ditemukan pula peninggalan-peninggalan megalitik, yaiti di daerah Lampung, Baturaja, Muarakomering dan Pugungraharjo, antara lain berupa arca-arca nenek moyang, seperti yang ditemukan di Jawa Barat.
Selain situs-situs yang disebutkan diatas, pada tahun 1999-2002 Balai Arkeologi Palembang melakukan penelitian lanjutan di situs Muarapayang yang merupakan salah satu kompleks situs prasejarah di Tanah Besemah. Temuan yang didapat berupa pecahan periuk, kendi tanah liat, fragmen keramik asing, tempayan kubur, kerangka manusia, alat-alat batu, bagunan megalitik, benteng tanah, makam puyang, dan sebagainya (Indriastuti, 2003:1). Situs Muarapayang sebagai salah satu situs pemukiman pra-sejarah telah dikenal sejak tahun 1932 oleh peneliti van der Hoop yang pernah menerbitkan buku berjudul “Megalitic Remain in South Sumatra”. dalam buku tersebut di uraikan tentang adanya penemuan sebuah dolmen di dusun Muarapayang. Informasi tentang tinggalan-tinggalan budaya dari situs Muarapayang tanpak nyata, seperti tinggalan berupa kompleks bagunan megalik, kompleks kubur tempayan, dan benteng tanah.
Kelanjutan tradisi megalitik pada umumnya masih ditempat-tempat lainnya di Indonesia yang berkembang dalam corak-corak local dan kondisi masa sekarang. Di Tanah Besemah yang telah beragama islam dan telah bayak menerima pengaruh budaya dari luar, agak sulit untuk menentukan kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari zaman megalitik. Tetapi kadang-kadang nuasa tradisi prasejarah ini masih tampak nyata di tempat yang masih kuat tradisinya masih melekat beberapa aspek kehidupan.
[button color=”blue2″ link=”http://www2.pagaralamkota.go.id/?p=427″ size=”big” target=”_blank” icon=”momizat-icon-checkmark”]Pendukung Budaya Megalitik Besemah[/button]
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.